Culinary

Bubur Sumsum, Penggoda Selera

Walau pun sudah mulai sulit untuk ditemukan, tapi jajanan bubur sumsum atau jenang sumsum tak pernah kekurangan penggemar. Tak lain karena penganan, ini bisa dinikmati hangat dan juga dingin.

Salah seorang pedagang bubur sumsum, Kasimo, di daerah Rawa Belong Jakarta, menceritakan bahwa masa pandemi tak banyak mengurangi hasil dagangannya.

“Pedagang bubur sumsum sudah semakin jarang. Jadi dagangan  pasti habis. Berjualan  pagi, yang membeli biasanya untuk  sarapan, dan tidak  pakai es batu. Tapi kalau sudah mulai siang, pembeli minta  pakai es batu,” kata Pak Mo demikian ia akrab dipanggil.

Ia menyebutkan semua bahan dagangannya dibuat sendiri dan menggunakan bahan yang segar. Hanya es batu yang memang ia ambil sesaat sebelum mulai berdagang.

Untuk membuat bubur sumsum,  bahan yang dibutuhkan adalah tepung beras, santan, daun pandan untuk memberi aroma, daun suji untuk mewarnai hijau dan sedikit garam.

“Yang dimasak lebih dulu adalah  santannya, dan begitu terasa hangat ambil sebagian untuk melarutkan tepung beras. Kalau sudah larut semua, tuang kembali ke dalam panci yang berisi santan tadi. Aduk terus agar tidak terjadi penggumpalan dan tercampur rata. Masukkan air daun Suji untuk membuat warnanya menjadi hijau dan jangan lupa kasih garam sedikit. Kalau sudah matang matikan,” ucapnya.

Kalau untuk Candil, lanjutnya, bahan dasarnya adalah tepung ketan dibentuk bola dengan menggunakan santan. 

“Selesai dibulatkan, langsung masukkan ke dalam rebusan air mendidih. Kalau sudah mengapung artinya sudah matang. Ambil candilnya, masukkan ke dalam air matang yang biasa. Kalau sudah matang semua, masak lagi dengan dicampur larutan gula merah hingga agak mengental,” ucapnya lagi.

Untuk kuah gula merahnya, tinggal membuat larutan gula merah dengan air. 

“Ada yang memasukkan nangka ke dalam gula merahnya. Tapi itu modalnya besar. Kalau saya tidak pakai. Jadi cuma gula merah sama air saja. Paling pakai daun pandan,” kata Pak Mo.

Pegiat Kuliner Ina Permana, saat dihubungi terpisah, menjelaskan bahwa filosofi bubur sumsum diambil dari warnanya, rasa dan bahan pembuatnya.

“Aslinya, bubur sumsum ini berwarna putih. Beda dengan yang didagangkan sekarang, warnanya hijau. Putih itu memiliki makna suci, bersih yang merupakan fitrah dasar dari manusia. Dimana seharusnya begitu lah manusia, keputihan dan kebersihan hatinya,” urai Ina.

Rasa manis yang ditambahkan lewat larutan gula merah merepresentasikan kesejahteraan, rasa terima kasih, manisnya kehidupan dan kebahagiaan.

“Kehadiran bubur sumsum di kampung-kampung itu biasanya selalu bisa kita lihat saat ada acara. Baik syukuran, selamatan atau pernikahan. Sesuai makna simbolisnya, bubur sumsum dibuat dengan tujuan agar orang-orang yang telah membantu tersebut bisa melepas rasa lelah karena telah bekerja keras. Rasa manis akan membantu mengembalikan energi,” urainya lagi.

Bahannya sendiri yang berasal dari beras, seakan memberi simbol pada sumber kekuatan pun bisa berasal dari sesuatu yang lembut. 

“Dan karena beras itu merupakan sumber bahan baku utama sehari-hari dalam bentuk nasi, maka saat dijadikan telur dan dibuat bubur tidak ada kesulitan untuk mencernanya,” pungkasnya.

[]Natasha Diany

Photo : ND

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *