Cerebral Palsy (CP) atau tuna daksa adalah sekumpulan gangguan yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk bergerak dan menjaga keseimbangan serta postur tubuhnya.
CP terjadi oleh perkembangan otak yg abnormal atau adanya kerusakan di otak yang memengaruhi kemampuan penderitanya dalam mengontrol otot.
Begitu pun, CP tidaklah dapat dinyatakan sebagai suatu kecacatan. Karena, pada dasarnya, anak dengan Cerebral Palsy hanya membutuhkan waktu yang lebih lama dalam belajar dan melakukan aktivitas.
Bahkan dengan terapi yang tepat, anak Cerebral Palsy, terutama skala ringan, akan mampu mengikuti pelajaran di sekolah umum.
Demikian disampaikan Pendamping Cerebral Palsy dari Yayasan Heesu Cahaya Cinta (Heesu) Iwan Safir Alam di acara menyambut Hari Celebral Palsy Internasional yang berlangsung di Terowongan Kendal, Mentang – Jakarta Pusat yang diinisiasi Saraswati Learning Center (SLC).
Iwan Safir Alam menambahkan, bahwa kondisi Cerebral Palsy disebabkan adanya kelumpuhan pada bagian cerebrum yang menyebabkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh.
“Anak Cerebral Palsy umumnya memiliki tingkat intelegensia bergantung pada tingkatan serangannya. Jika yang ringan, maka relatif tidak terlihat dan bisa bersekolah seperti anak umumnya,” katanya.
Untuk yang memiliki serangan berat, biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya.
“Dari segi sosialisasi, anak Cerebral Palsy sama saja dengan anak pada umumnya. Hanya mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melakukan suatu kegiatan atau belajar,” urai Iwan usai menemani tiga anak asuhnya menyanyikan “Laskar Pelangi” dan “Semua Karena Cinta” di depan para pengunjung yang hadir di acara menawan itu.
Fokus pendidikan yang diberikan di Heesu, yang didirikan tahun 2008 oleh seorang Korea, dan saat ini mengasuh 15 anak usia 11 – 26 tahun yang memiliki Cerebral Palsy dan Cerebral Palsy plus Autis, yaitu vokasional, pra-vokasional, bina diri dan sensori.
“Kami juga memberikan fisioterapi, terapi wicara dan terapi okupasi,” kata Iwan.
Fisioterapi bertujuan untuk membantu anak dalam kemampuan gerak dan kemampuan otot serta mencegah kontraktur atau pemendekan otot yang menyebabkan gerakan anak menjadi terbatas.
Terapi Wicara diperuntukkan bagi Cerebral Palsy yang mengalami kesulitan bicara. Dan terapi Okupasi adalah untuk mengatasi kesulitan dalam beraktivitas.
“Terapi ini sangat membantu dalam meningkatkan kepercayaan diri dan kemandirian anak,” tutur Iwan.
Tak lepas dukungan Pemerintah pada anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukan melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) adalah dengan meningkatkan kapasitas. Sehingga para difabel bisa hidup mandiri sesuai kemampuan mereka.
Di tempat yang sama, Kabid Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas dan Psikososial dan Asdep Perlindungan Anak Berkebutuhan Khusus KemenPPPA Indrawati, S.Sos menyebutkan bahwa melindungi anak difabel merupakan salah satu tupoksi yang dimiliki KemenPPPA.
“Sesuai dengan undang-undang, ada 15 kategori anak yang harus dilindungi. Salah satunya adalah anak Disabilitas,” kata Indrawati, S.Sos.
Lanjutnya, yang juga di lakukan adalah peningkatan kapasitas sumber dayanya. Dalam artian, baik pada anak disabilitas-nya juga pada pembimbing dan orang tua yang akan mendamping.”
“Perlu sosialisasi juga pada masyarakat dan orang tua, sehingga ada pengertian bahwa anak disabilitas itu bukan untuk dikasihani tapi dimengerti apa yang mereka butuhkan,” ujar Indrawati S.Sos.
[]Faovana & Andriza Hamzah
Ket Foto 2 :
Iwan Safir Alam