Diperkirakan terdapat 2,1 juta kasus kanker paru-paru, dan 1,8 juta kematian pada 2018 di seluruh dunia. Maka, tingkat kematian karena kanker paru-paru merupakan yang paling tinggi untuk kanker.
Di Indonesia tercatat, 14% dari total kematian karena kanker disebabkan oleh kanker paru yang menjadikan penyakit fatal ini sebagai kanker pembunuh nomor .
Sementara sebenarnya, di sisi lain perkembangan testing dan pengobatan telah berevolusi untuk mendapatkan hasil perawatan yang optimal pada semua jenis mutasi kanker paru-paru. Dan, meningkatkan kualitas hidup pasien.
Maka dari hal ini mengindikasikan adanya problem di dalam akses pasien terhadap diagnostik dan pengobatan tersebut.
Demikian catatan Indonesia Cancer Information & Support Center (CSIC), sebuah organisasi pasien kanker.
Mengenai bagaimana kondisi dan tantangan dalam perawatan kanker paru-paru di Indonesia, dan bagaimana memperbaiki akses pasien terhadap diagnosis dan pengobatan standar bermutu juga tepat waktu melalui jaminan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), CSIC, organisasi pasien kanker yang memberikan dukungan serta layanan informasi kepada masyarakat kanker dan awam menuju ‘Indonesia Peduli Kanker’, menyelenggarakan temu media. Sekaligus dalam rangka memperingati Bulan Peduli Kanker Paru Sedunia di Bulan November.
Acara bertema ‘Lung Cancer And Me: Beda Perjalanan’, pada 28 November 2018 lalu, bertempat di Hotel Gran Melia, Jakarta Selatan menghadirkan narasumber : Brigjen TNI dr. Alex Ginting S, Sp.P(K), RSPAD Gatot Subroto, dr. Evlina Suzanna, SpPA (K), Rumah Sakit Kanker Dharmais, dan Indrodjojo Kusumonegoro (Indro Warkop), keluarga pasien kanker paru-paru, serta dr. Sita Andarini, SpP (K), PhD, RSUP Persahabatan, bertindak sebagai moderator.
Aryanthi Baramuli Putri, SH, MH, Ketua Cancer Information and Support Center menyampaikan, “Kanker paru memiliki angka harapan hidup yang rendah yaitu sebesar 12% jika dibandingkan dengan kanker lain. Deteksi dan penegakkan diagnosis sejak dini menjadi sangat penting bagi orang-orang dengan resiko tinggi kanker paru agar bisa mendapatkan pengobatan yang tepat dan bermutu.
Dibandingkan 5-10 tahun yang lalu, kanker paru mengalami perkembangan karakteristik yang bermakna.
Seperti disampaikan dr. Evlina Suzanna, SpPA (K), dari Rumah Sakit Kanker Dharmais,”Setiap tahun, terdapat 30.023 pasien terdiagnosis kanker paru, dan dari angka tersebut, sekitar 26.000 pasien kanker paru yang meninggal. Data menunjukkan bahwa kanker paru adalah kanker pembunuh nomor satu di Indonesia, dengan jenis terbanyak adenokarsinoma. Tidak adanya deteksi dini yang standar dan tidak adanya gejala klinis yang spesifik menjadikan kepedulian pasien serta akses terhadap diagnostik serta pengobatan yang bermutu sangat penting”.
“Saat ini pengobatan standar yang mendasar untuk kanker paru merupakan combined modality yang meliputi pembedahan atau surgery, kemoterapi, radiasi dan unsur lainnya, yaitu terapi target, immunoterapi dan cryosurgery. Akses pasien terhadap diagnostik serta personalised treatment untuk kanker paru sesuai jenisnya merupakan kunci sukses untuk penanganan kanker paru yang efektif, misalnya Anti ALK generasi kedua seperti Alectinib, yang telah teruji secara klinis menekan pemburukan penyakit lebih dari 34 bulan dibandingkan pengobatan standar Anti ALK generasi pertama yang hanya menekan pemburukan penyakit selama 10,9 bulan. Selain itu imunoterapi Anti PDL-1 juga dapat memperpanjang harapan hidup pada kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil lini kedua, dua kali lipat dibandingkan kemoterapi standar saat ini,” demikian dituturkan Brigjen TNI dr. Alex Ginting S, Sp.P(K) dari RSPAD Gatot Soebroto.
[]Dyah