Untuk bisa memberikan layanan terbaik bagi pasien hemofilia, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hemofilia (PNPK Hemofilia) sejak 2021. Pedoman tersebut memuat ketentuan-ketentuan penanganan dan ragam pengobatan yang bisa menjadi pilihan berdasarkan kebutuhan pasien.
Topik ini menjadi bahasan utama pada sesi diskusi bertajuk “Mengawal Masa Depan Hemofilia di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), pada Selasa, 26 April 2022.
Hemofilia, merupakan kelainan pembekuan darah bawaan yang terjadi akibat kekurangan protein faktor VIII. Akibatnya, darah penderita hemophilia sulit membeku, sehingga ketika terjadi pendarahan akan berlangsung lebih lama dari orang normal.
Penderita Hemofila Dalam Kehidupan
Penyakit yang terjadi karena faktor genetik, dan walau pun belum dapat disembuhkan, penderita dapat hidup normal dengan mencegah terjadinya luka dan melakukan kontrol rutin ke Dokter.
Ketua HMHI Prof. Dr. Djajadiman Gatot, Sp.A(K) mengatakan, keberhasilan dalam menjangkau lebih banyak penyandang hemofilia melalui program jaminan kesehatan nasional sudah baik, namun masih ada penyandang hemofilia yang belum tertangani.
“Kita perlu melihat kembali metode, praktik, dan pendekatan penanganan klinis agar lebih maksimal. Saya percaya, kita perlu mengoptimalkan kemitraan, kebijakan, dan kemajuan, sehingga akses pengobatan konvensional atau pun inovatif dapat tersedia secara luas bagi para penyandang hemofilia, apapun kondisi medis dan latar belakang ekonominya,” katanya.
Meski pun metode pengobatan terkini melalui terapi inovatif sudah tercantum dalam PNPK Hemofilia, namun implementasi di lapangan dinilai masih belum berjalan lancar, terutama bagi penyandang hemofilia A berat yang diperkirakan mencapai 20–30 persen dari keseluruhan kasus hemofilia A.
Pengobatan metode on demand yang diberikan hanya saat perdarahan terjadi, belum cukup efektif, sehingga perdarahan sendi pada hemofilia A berat bisa terjadi 3–4 kali per bulan. Akibatnya, selain waktu yang terbuang dan biaya pribadi yang harus dikeluarkan untuk mendukung pengobatan, muncul pula dampak psikologis, risiko kecacatan dan kematian, akibat perdarahan berulang yang tidak tertangani secara efektif.
Standar pengobatan hemofilia di Dunia telah fokus pada pengobatan inovatif dengan penggunaan profilaksis atau terapi pencegahan untuk mengurangi kejadian perdarahan, meningkatkan luaran klinis dan memperbaiki kualitas hidup penyandang hemofilia. Sementara, paket INA-CBG saat ini belum memadai untuk mengakomodasi kebutuhan perluasan metode.
“Pengobatan metode profilaksis ini dapat dilakukan dengan memberikan faktor pembekuan, berupa faktor VIII dosis rendah atau bypassing agent untuk pasien-pasien dengan antibodi faktor VIII, mau pun obat inovatif non–factor replacement therapy, yaitu emicizumab. Dari Data National Health Service dan standar tata laksana klinis di Inggeris, Amerika Serikat dan Swedia, terapi profilaksis terbukti lebih cost–effective dibandingkan on demand dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien secara lebih baik,” tambah Dr. dr. Novie Chozie Amalia, Sp.A(K).
Dari perspektif biaya, dr. Novie menambahkan, pengobatan inovatif tidak selalu diasosiasikan dengan biaya yang tinggi. Terdapat beberapa pengobatan inovatif yang lebih baik dari segi manfaat, namun juga lebih efisien dari segi total biaya perawatan yang tidak hanya terkait biaya obat.
Sementara itu, penyandang hemofilia, dr. Satria Dananjaya dan spesialis kesehatan anak dr. Fitri Primacakti Sp.A(K) menyebutkan, kualitas hidup yang baik menjadi harapan bagi para penyandang hemofilia, khususnya anak-anak dalam masa pertumbuhan.
Hal tersebut membantu mereka dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Jika tidak didukung pengobatan yang baik, penyandang hemofilia akan kesulitan untuk menjalani aktivitas sederhana akibat perdarahan yang terjadi berulang kali. Harapan terbesar dari para penyandang hemofilia adalah adanya perbaikan terhadap tatalaksana hemofilia di Indonesia.
Dalam mewujudkan akses yang lebih luas bagi para penyandang hemofilia, perlu upaya penyebaran informasi agar urgensi dan kesadaran tentang hemofilia dapat dimiliki oleh pemangku kepentingan dan masyarakat. Selain itu, kemitraan antara Pemerintah, lembaga yang relevan, dan media akan memperkuat implementasi PNPK Hemofilia di Indonesia.
“Kami menerapkan pertimbangan berdasarkan benefit, efektivitas, khasiat, dan aspek lainnya dalam mewujudkan perluasan akses pengobatan. Bukan soal obat yang berbiaya tinggi, jika treatment yang baru lebih baik, maka bisa saja menggantikan treatment yang lama. Namun dalam prosesnya, perlu melalui tahapan Formularium Nasional (FORNAS). Jika sudah masuk dalam FORNAS, maka pengobatan akan dapat diakses masyarakat dengan mudah. Harapannya, ke depan kami bisa semakin memberi kemudahan dari sisi obat untuk pasien,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dita Novianti Sugandi Argadiredja, S.Si., Apt., MM
Dari sisi pembiayaan, penting untuk membangun sinergi antar lembagaPpemerintah, swasta, dan masyarakat, untuk memastikan bahwa transformasi kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional yang tengah berlangsung dapat memperluas akses penyandang hemofilia dalam mendapatkan perawatan yang sesuai standar.
Optimalisasi kebijakan akses pembiayaan dan standar perawatan perlu terus dilakukan agar masyarakat Indonesia memiliki kualitas kesehatan yang semakin baik, termasuk para penyandang hemofilia.
[] S. Luna & Andriza Hamzah
Photo : Ist