Penyakit darah tergolong
langka, Hemofilia, merupakan
penyakit yang dapat menyebabkan efek
serius. Penyandang penyakit, ini memiliki resiko kesehatan berupa pembengkakan sendi, kecacatan hingga
membahayakan jiwa. Terutama bagi anak-anak, kondisi ini, seringkali membatasi mereka untuk dapat beraktivitas
normal seperti anak-anak lainnya.
Catatan, di Indonesia,
penyandang Hemafolia, pada tahun 2020
menunjukkan angka hingga 2,706 orang. Sebesar 58% di antaranya dialami oleh
anak-anak berusia 0-18 tahun.
Sebanyak 82% atau sejumlah 2.214 penyandang Hemofilia
memiliki jenis Hemofilia A
dan sisanya Hemofilia B. Demikian data
World Federation of Hemophilia.
Dapat dirincikan,
penyandang Hemofilia A kekurangan
faktor pembekuan darah VIII yang sebagian besar diturunkan secara genetik, di mana darah tidak dapat membeku secara normal sehingga
pasien akan mengalami episode pendarahan yang lama dan bahkan tidak terkendali akibat sebuah benturan
ringan atau pun karena pendarahan yang terjadi secara spontan atau tanpa adanya
benturan.
Pengobatan
Optimal
Dari melihat jumlah
penyandang Hemfolia di Tanah Air,
kiranya terdapat tantangan tersendiri dalam tata laksana Hemafolia di Indonesia. Yaitu berupa terapi pencegahan (profilaksis) dan pengobatan anti Inhibitor secara rutin, yang menjadi salah satu solusi untuk menjawab
tantagan yang dihadaapi pasien untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih
baik.
Bila tata laksana Hemofilia di Indonesia yang masih belum bisa memberikan akses yang
memadai untuk pasien, kiranya tantangan
geografis menjadi problematika bagi para penyandang Hemofilia ketika harus menjalani pengobatan di rumah sakit untuk
menangani pendarahan.
Maka terkait peringatan
Hari Hemofilia Dunia yang jatuh tanggal 17 April 2021 lalu, yang bertujuan menyatukan komunitas Hemofilia dan gangguan pendarahan lainnya di seluruh Dunia,
mengangkat tema “Adapting to change, sustaining care in the new world”, ini diwujudkan dalam kemampuan komunitas Hemofilia yang terdiri dari pasien,
keluarga pasien dan tenaga kesehatan,
serta pemerhati Hemofilia beradaptasi
di tengah pandemi COVID-19. Salah
satunya untuk tetap dapat fokus berupaya untuk mencapai perawatan Hemofilia yang berkelanjutan yang dapat
diakses oleh pasien Hemofilia secara
luas.
Prof. dr. Djajadiman Gatot, Sp.A(K), Ketua
Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia mengatakan,“Pengobatan Hemofilia di Indonesia saat, ini
dilakukan dengan pemberian faktor pembekuan darah (faktor VIII/IX) secara infus
ketika ada perdarahan atau disebut juga on-demand,
dan harus diberikan di rumah sakit. Namun, tantangan geografis dan keterbatasan
fasilitas Kesehatan yang masih terpusat di kota-kota besar, menyulitkan pasien Hemofilia atau keluarga pasien untuk
datang ke fasilitas kesehatan setiap kali terjadi pendarahan, sehingga
berpotensi menyebabkan hasil perawatan yang kurang optimal.Solusi untuk
tantangan, ini adalah pemberian terapi pencegahan atau profilaksis secara rutin sebelum kejadian pendarahan terjadi.
Terapi pencegahan ini dapat memberikan kualitas hidup yang lebih baik untuk
para pasien.”
Profilaksis
disebut
juga sebagai terapi pencegahan, merupakan metode pengobatan Hemofilia di mana obat diberikan secara
rutin untuk mencegah terjadinya pendarahan berulang dan kecacatan yang menyebabkan
kualitas hidup pasien menjadi menurun. Profilaksis
tercantum dalam panduan penanganan Hemofilia
Dunia yang dikeluarkan oleh Badan Hemofilia Dunia (World Federation of
Hemophilia) dan telah menjadi standar pengobatan Hemofilia di berbagai Negara untuk mengurangi atau mencegah
pendarahan, serta mengurangi konsekuensi dari perawatan Hemofilia yang tidak memadai.
Di Indonesia, terapi profilaksis sebagai bagian dari tata
laksana Hemofilia telah masuk dalam
Panduan Nasional Penanganan Kedokteran (PNPK) mengenai Tata Laksana Hemofilia
yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2021, yang menjadi panduan
standar bagi tenaga kesehatan di seluruh Indonesia dalam melakukan penanganan
Hemofilia. Jadi pengobatan Hemofilia,
saat ini sudah masuk dalam penjaminan Kesehatan Nasional atau BPJS.
Namun bila terdapat kendala, yaitu terkait jumlah obat dan dosis yang masih belum
memadai karena keterbatasan INA-CBG paket pasien Hemofilia, sehingga masih banyak ditemui
pasien yang mengalami kerusakan sendi,perdarahan berat seperti pendarahan otak
dan organ dalam yang beresiko kematian,
ujar Prof. dr. Djajadiman Gatot, Sp.A(K).
Selain itu, beberapa
juga mengalami penolakan dari tubuhnya terhadap obat faktor pembekuan darah
(faktor VIII) yang diberikan, disebabkan oleh timbulnya inhibitor atau zat anti terhadap faktor pembekuan yang diberikan.
Pasien Hemofilia berat dengan inhibitor ini memiliki resiko lebih
tinggi mengalami kecacatan akibat pendarahan berulang, penurunan kualitas hidup
karena keterbatasan mobilitas hingga kematian.
Dr. dr. Novie A Chozie, Sp.A(K),dokter
spesialis anak yang juga merupakan pengurus pusat HMHI mengatakan, “Sejalan
dengan visi Badan Hemofilia Dunia untuk mewujudkan “Treatment for All”, maka
dalam peringatan World Hemophilia Day ini HMHI juga melakukan serangkaian
kegiatan edukasi masyarakat mengenai Hemofilia,
di antaranya cerita para penyandang Hemofilia
mengenai tantangan yang dialaminya dalam bentuk beberapa seri video sertasesi edukasi virtual melalui Facebook live bersama para pasien Hemofilia. Meski pun pandemi Covid-19 telah menjadi tantangan
bagi kita semua, tidak terkecuali komunitas Hemofilia,
namun kita akan tetap akan fokus dengan tujuan kita untuk mencapai perawatan Hemofilia yang berkelanjutan yang dapat
diakses oleh pasien Hemofilia secara
luas agar penyandang Hemofilia di
Indonesia dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik”.
[]Andriza Hamzah